Relasional vs NoSQL: Pilih yang Mana Biar Gak Pusing di Tengah Jalan?

2
Tabula
Ditulis 19 June 2025 Baca ± 11 menit
Relasional vs NoSQL: Pilih yang Mana Biar Gak Pusing di Tengah Jalan?

Waktu pertama kali saya belajar database, bayangan saya sesederhana ini: semua data disimpan dalam tabel, terus bisa dicari, ditambah, dihapus, atau diubah kapan saja. Udah, selesai. Kayak main Excel, tapi lebih canggih dikit karena harus ketik kode. Selama tahu nama tabel dan kolomnya, semua terasa gampang.

Saya pun mulai belajar SQL. SELECT, INSERT, UPDATE, DELETE—empat mantra dasar yang bikin saya ngerasa seperti penyihir di dunia data. Saya bisa tarik semua nama pelanggan dari database dalam sekali ketik. Saya bisa tambahkan transaksi baru tanpa perlu klik-klik menu. Waktu itu saya pikir, "Wah, ini mah udah cukup. Semua sistem kayaknya juga pakai cara ini."

Sampai akhirnya saya ketemu dua istilah yang bikin saya mikir ulang:

  • Relational Database
  • Non-Relational Database (alias NoSQL)

Awalnya saya bengong cukup lama. "Lho, ternyata database punya gaya masing-masing?" pikir saya. Saya kira selama data bisa disimpan dan dipanggil lagi, ya selesai urusan. Tapi ternyata, di balik penyimpanan data itu, ada filosofi yang berbeda-beda. Dan enggak sesimpel itu ceritanya.

Saya mulai telusuri lebih jauh. Baca dokumentasi. Tonton tutorial. Sampai akhirnya saya sadar: data itu nggak seragam. Ada yang bentuknya tetap, ada yang suka berubah. Ada yang saling terhubung, ada juga yang berdiri sendiri. Dan dari situ saya belajar satu hal penting:

Sama seperti manusia, data juga punya gaya hidup masing-masing.

Ada data yang rapi banget, kayak akuntan. Semua harus sesuai format. Tapi ada juga data yang luwes, kayak seniman. Bisa punya bentuk yang berbeda tiap waktunya. Dan sebagai pengelola data—baik itu developer, pemilik usaha, atau analis—kita harus bisa milih cara penyimpanan yang paling cocok.

Dari pemahaman itulah saya mulai bisa melihat perbedaan mendasar antara Relational Database dan NoSQL, dan lebih siap buat milih arah yang tepat—biar gak pusing di tengah jalan.

Awal Mula: Warung Kopi Kecil dan Mimpi yang Membesar

Ceritanya waktu itu saya bantu teman bikin sistem pencatatan untuk tokonya. Sederhana aja: ada pelanggan, ada produk, dan ada transaksi. Semua data bisa disusun dalam bentuk tabel:

  • Tabel pelanggan
  • Tabel produk
  • Tabel transaksi

Setiap transaksi nyambung ke pelanggan dan berisi daftar produk. Logis banget. Rapi. Enak dilihat. Kita bisa tahu siapa beli apa, kapan belinya, dan berapa total transaksinya hanya dengan satu query sederhana. Sistem laporan pun bisa jalan otomatis setiap malam. Dan karena data saling terhubung, kami bisa tarik data pelanggan loyal hanya dengan JOIN tiga tabel.

Saya pun pakai MySQL, salah satu jenis RelationalDatabase Management System (RDBMS). Awalnya semuanya berjalan mulus. Sistem sederhana ini udah sangat membantu dibanding catatan manual. Bahkan, teman saya sempat bilang, "Wah, keren juga ya, sekarang udah berasa kayak punya ERP mini."

Tapi seperti kebanyakan usaha yang mulai berkembang, masalah mulai muncul bukan karena sistemnya jelek—tapi karena kebutuhan datanya berubah.

Setelah beberapa bulan, toko teman saya makin ramai. Dia mulai ekspansi kecil-kecilan ke platform online. Buka lapak di marketplace, promosi lewat Instagram, sampai mulai aktif di WhatsApp untuk layanan pemesanan.

Nah, di sinilah mulai kerasa: data pelanggan makin bervariasi.

  • Ada pelanggan yang datang dari toko fisik dan cuma kasih nama depan.
  • Ada yang order lewat WA, jadi data yang masuk cuma nomor HP.
  • Ada yang follow Instagram dan langsung DM order, cuma ninggalin username.
  • Ada yang beli di marketplace dan masuk sebagai order anonim dari platform tertentu.

Struktur datanya jadi makin "liar". Tabel pelanggan yang tadinya cuma punya kolom nama, email, dan nomor_hp sekarang butuh tambahan instagram_username, alamat_pengiriman, bahkan platform_sumber.

Lalu ada ide bikin sistem point reward: pelanggan bisa kumpulkan poin dari transaksi, lalu tukar diskon atau merchandise. Tapi... ada yang bisa tukar poin lewat scan QR di toko, ada yang via kode promo online. Dan data penukaran poin itu gak bisa dimasukkan ke struktur tabel yang lama dan bikin semuanya makin rumit.

Saya mulai mikir keras. Setiap penambahan fitur berarti nambah kolom baru, atau bahkan nambah tabel baru, lalu bikin relasi lagi. Kalau ada yang salah desain, satu relasi bisa ngerusak sistem laporan bulanan. Belum lagi kalau harus migrasi data lama.

"Wah, tabel ini makin susah dibentuk," batin saya. Dan bukan cuma susah—lama-lama jadi nggak efisien.

Saat itulah saya dikenalkan dengan dunia Non-Relational Database alias NoSQL — dan perjalanan saya di dunia data berubah total.

Relational Database: Si Tertib yang Suka Struktur

Bayangin kamu masuk ke sebuah perpustakaan tua yang tenang dan rapi. Semua buku tersusun dalam rak-rak dengan label jelas. Buku sejarah di satu sisi, novel fiksi di sisi lain, dan referensi teknik di rak khusus. Kamu bisa dengan mudah mencari apa pun karena semuanya punya tempat masing-masing. Nah, Relational Database itu mirip seperti perpustakaan itu—struktur adalah segalanya.

Relational Database menyimpan data dalam bentuk tabel-tabel dengan baris dan kolom yang sangat terdefinisi. Setiap baris adalah entri data, dan setiap kolom punya tipe data yang konsisten: nama, nomor HP, harga, tanggal, dan sebagainya. Gak ada ruang buat improvisasi struktur. Semuanya harus sesuai format dari awal.

Contoh: MySQL, PostgreSQL, SQL Server

Misalnya kamu punya sistem kasir untuk warung kopi. Kamu akan membuat:

  • Tabel pelanggan — berisi nama, email, dan nomor HP.
  • Tabel produk — menyimpan nama minuman, harga, dan stok.
  • Tabel transaksi — mencatat siapa beli apa, kapan, dan berapa banyak.

Masing-masing tabel ini punya ID unik, dan bisa dihubungkan satu sama lain lewat foreign key. Mau tahu siapa yang beli kopi susu minggu lalu? Tinggal lakukan JOIN antara tabel transaksi, pelanggan, dan produk.

Semua bisa dianalisis dengan cepat dan akurat, selama strukturnya tetap teratur. Itu syarat utamanya: data harus bersih, rapi, dan saling terhubung lewat kunci.

Cocok untuk:

  • Sistem kasir atau POS
  • Aplikasi akuntansi dan laporan keuangan
  • Sistem manajemen pelanggan (CRM)
  • Aplikasi yang mengandalkan integritas data tinggi, seperti rumah sakit atau perbankan

Kelebihannya:

  • Konsistensi tinggi: Data terhindar dari duplikat dan inkonsistensi.
  • Hubungan antar tabel kuat: Mudah melakukan analisis lintas data.
  • Bahasa SQL yang sudah standar di industri, banyak dokumentasi dan komunitas.

Kekurangannya:

  • Kurang fleksibel untuk data yang strukturnya sering berubah atau tidak seragam.
  • Butuh desain awal yang matang: Salah desain relasi di awal bisa bikin migrasi di kemudian hari jadi mimpi buruk.
  • Kurang cocok untuk data semi-struktur atau unstruktur, seperti data sensor, feedback pelanggan, atau metadata media sosial.

Jadi kalau kamu tipe orang yang suka semuanya tersusun rapi kayak spreadsheet berlapis-lapis, dan kamu yakin struktur datamu gak akan banyak berubah, relational database bisa jadi pilihan terbaikmu. Tapi kalau datamu mulai "berjiwa bebas", mungkin kamu butuh sesuatu yang lebih fleksibel… (yup, NoSQL-nya menyusul).

Kurang fleksibel untuk data yang sering berubah bentuk.

Butuh desain awal yang matang. Kalau berubah di tengah jalan, bisa bikin migrasi jadi ribet.

NoSQL: Si Fleksibel yang Suka Bebas Gaya

Kalau relational database itu seperti kantor dengan meja kerja bersekat dan dokumen yang diatur berdasarkan kategori, maka NoSQL lebih seperti studio kreatif: bebas berekspresi, gak kaku, dan bisa berubah bentuk sesuai kebutuhan.

Non-Relational Database — atau lebih akrab disebut NoSQL — bukan cuma alternatif dari relational, tapi solusi untuk data yang tidak bisa diprediksi bentuknya dari awal. Sistem ini tidak melulu menggunakan tabel. Sebagai gantinya, data bisa disimpan dalam bentuk:

  • Dokumen (biasanya format JSON atau BSON)
  • Key-Value (mirip dengan kamus atau dictionary)
  • Graph (untuk menyimpan relasi seperti jejaring sosial)
  • Column-Based (untuk analisis data dalam skala besar)

Model paling populer adalah document-based, dengan MongoDB sebagai salah satu pemain utamanya.

Bayangin kamu sedang menyimpan data pelanggan seperti ini:

{
  "nama": "Andi",
  "email": "[email protected]",
  "nomor_hp": "08123456789",
  "sosmed": {
    "instagram": "@andikopi",
    "tiktok": "@kopidibaliklayar"
  },

  "history_pembelian": [
    {"produk": "Kopi Susu", "tanggal": "2024-05-01"},
    {"produk": "Matcha", "tanggal": "2024-05-03"}
  ]
}

Semua data tentang pelanggan Andi—dari identitas, akun media sosial, sampai histori belanja—tersimpan dalam satu dokumen utuh. Gak perlu pecah jadi tiga tabel berbeda. Gak perlu bikin relasi antar tabel atau repot pakai JOIN.

Dan yang paling menyenangkan: kalau besok kamu mau tambahkan preferensi rasa, status langganan, atau metode pembayaran favorit, kamu cukup tambahkan satu field baru. Gak perlu migrasi tabel besar-besaran seperti di RDBMS.

Contoh NoSQL:

  • MongoDB
  • Firebase / Firestore
  • CouchDB
  • Cassandra
  • Amazon DynamoDB

Cocok untuk:

  • Aplikasi mobile dan web modern
  • Sistem chat atau sosial media
  • Layanan dengan data semi-struktur atau cepat berubah
  • Log sistem, analytics, dan notifikasi

Kelebihannya:

  • Fleksibel: Data bisa beda-beda bentuk tanpa menimbulkan error
  • Cepat diakses: Karena semua informasi disimpan dalam satu dokumen
  • Skalabilitas horizontal: Mudah ditambah server saat beban bertambah
  • Cepat untuk iterasi produk: Sangat cocok untuk startup atau proyek MVP

Kekurangannya:

  • Konsistensi data lebih lemah: Tidak cocok untuk sistem yang butuh integritas data tinggi seperti keuangan atau akuntansi
  • Analisis data kompleks: Agak rumit jika ingin bikin laporan yang menggabungkan banyak dokumen
  • Learning curve: Tidak semua developer terbiasa dengan pendekatan non-relasional

Jadi, kalau kamu sedang bangun aplikasi yang terus berkembang dan data yang masuk bentuknya dinamis—misalnya dari API eksternal, input pengguna yang beragam, atau data sosial—NoSQL bisa menjadi pilihan ideal. Dia seperti kanvas kosong yang siap diisi sesuai imajinasi.

Tapi tetap ingat: kebebasan itu datang dengan tanggung jawab. Karena tanpa struktur yang jelas, kamu juga bisa tersesat dalam tumpukan dokumen yang tak beraturan. Maka bijaklah memilih, sesuai kebutuhan dan visi jangka panjang aplikasimu.

Studi Kasus: Warung Kopi dan Sistem Poin

Kembali ke cerita teman saya yang punya warung kopi, yang dulunya cuma punya satu cabang kecil di pojokan jalan. Waktu awal dibangun sistemnya, semuanya masih sederhana. Data pelanggan dan transaksi dicatat rapi pakai MySQL. Laporan penjualan bisa dibuat tiap minggu. Analisis pelanggan paling loyal pun cukup pakai query JOIN yang elegan.

Tapi, waktu berjalan, dan bisnisnya tumbuh. Cabang baru dibuka. Promo musiman mulai aktif. Sistem membership dan point reward diperkenalkan. Mulailah sistem yang dulu terasa ideal, jadi mulai megap-megap.

Kami menemukan beberapa tantangan:

  • Pelanggan makin beragam. Ada yang daftar langsung di warung, ada yang gabung lewat WhatsApp, ada yang scan QR dari Instagram, dan semuanya menyimpan data yang berbeda.
  • Beberapa pelanggan punya 5 histori transaksi, ada juga yang punya lebih dari 50. MySQL mulai terasa berat saat harus menghubungkan data ini lewat banyak relasi.
  • Promo berubah-ubah setiap minggu: kadang diskon, kadang bonus poin, kadang voucher gratis. Menambahkan field promo baru di sistem relational bikin struktur tabel jadi membengkak.

Akhirnya saya memutuskan: saatnya memperkenalkan MongoDB ke dalam sistem.

Kenapa MongoDB?

Karena dengan pendekatan document-based, saya bisa membuat satu dokumen pelanggan yang fleksibel:

  • History transaksi, data sosmed, preferensi rasa, langganan newsletter—semua bisa masuk dalam satu dokumen JSON.
  • Riwayat promo dan penukaran poin cukup ditambahkan sebagai array baru, tanpa perlu membuat tabel baru atau mengubah relasi yang rumit.
  • Feedback pelanggan? Tinggal tambahkan feedback: ["kopi terlalu manis", "kurang es"] di dalam dokumen pelanggan.

Hasilnya?

  • Pengembangan fitur jauh lebih cepat. Frontend tinggal tarik data dari satu dokumen lengkap.
  • Sistem point reward jadi lebih responsif dan fleksibel.
  • Penyesuaian alur promo tidak perlu migrasi tabel seperti sebelumnya.

Yang menarik, kami tidak meninggalkan MySQL sepenuhnya. Untuk data keuangan, laporan harian, dan analisis penjualan agregat, kami tetap pakai MySQL karena kekuatan relational dan konsistensinya.

Jadi bisa dibilang, solusi terbaik kami bukan memilih satu dan menolak yang lain—tapi menggabungkan kekuatan keduanya:

  • MySQL untuk data yang rapi, stabil, dan butuh integritas tinggi.
  • MongoDB untuk data yang cair, berubah cepat, dan tidak bisa diprediksi bentuknya.

Dan dari pengalaman itu, saya belajar bahwa teknologi bukan soal siapa paling hebat. Tapi soal siapa paling tepat untuk konteks yang kamu hadapi.

Akhir Kata: Pilih yang Mana Biar Gak Pusing di Tengah Jalan?

Perbedaan antara relational dan NoSQL database itu bukan soal adu siapa yang paling keren, paling cepat, atau paling banyak digunakan di dunia. Tapi soal satu hal sederhana: kebutuhanmu dan sifat data yang kamu kelola.

Kalau datamu rapi, terstruktur, dan polanya tidak banyak berubah dari waktu ke waktu—Relational Database akan terasa nyaman. Seperti spreadsheet yang bisa dipercaya. Ideal untuk laporan keuangan, data pelanggan yang statis, atau sistem absensi.

Tapi kalau datamu seperti hidup di rollercoaster—berubah bentuk tiap minggu, punya entri yang beragam, atau datang dari berbagai sumber yang tidak seragam—NoSQL akan terasa seperti nafas lega. Fleksibel, cepat beradaptasi, dan lebih siap menghadapi dinamika zaman digital.

Dan kalau kamu mengelola sistem yang cukup kompleks—misalnya gabungan antara aplikasi kasir, sistem point reward, integrasi sosial media, dan laporan keuangan—bisa jadi kombinasi keduanya adalah solusi terbaik. Gunakan relational untuk yang perlu integritas tinggi. Gunakan NoSQL untuk fitur-fitur yang cepat berkembang.

Karena memilih database bukan cuma keputusan teknis. Tapi juga keputusan strategis.

Seperti membangun rumah: kamu bisa pakai bata untuk dinding, baja ringan untuk atap, dan kaca besar untuk pencahayaan alami. Materialnya beda, tapi kalau ditempatkan dengan tepat, hasilnya jadi satu bangunan kokoh yang nyaman ditinggali.

Jadi, sebelum kamu mulai membangun sistemmu—luangkan waktu sejenak untuk melihat ke dalam: sifat data seperti apa yang akan kamu kelola?

Mau yang formal dan tertib? Atau yang bebas dan luwes? Atau... kombinasi keduanya?

Karena pada akhirnya, sistem yang sehat berawal dari pondasi data yang tepat. Dan memilih database yang tepat... adalah langkah pertama supaya kamu gak pusing di tengah jalan.

Diperbarui pada 23 June 2025