Tipografi Itu Kayak Humor — Kalau Garing, Orang Kabur

1
Design in Motion
Ditulis 18 June 2025 Baca ± 10 menit
Tipografi Itu Kayak Humor — Kalau Garing, Orang Kabur

Bayangin kamu lagi buka website. Warnanya enak, layout-nya modern, gambarnya keren. Tapi... teksnya? Kecil, rapat, nggak ada nafas. Mata kamu ngernyit, otak kamu lelah, dan jari kamu — ya, otomatis cari tombol close tab.

Ini dia: tipografi yang garing.

Kayak lawakan yang nggak lucu, tipografi yang buruk tuh bikin canggung. Mungkin nggak langsung disadari, tapi bikin pembaca nggak betah. Dan kabar buruknya: nggak semua pembaca sebaik itu buat kasih feedback. Kebanyakan? Mereka tinggal pergi. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan.

Padahal, teks itu nyawa dari hampir semua konten digital. Mau kamu bikin blog, toko online, portfolio, atau landing page SaaS yang fancy, semuanya punya satu kesamaan: butuh teks yang enak dibaca. Bukan yang bikin kening berkerut atau bikin kita mikir, "Ini gue lagi baca atau lagi ujian mata?"

Kenapa Tipografi Bisa Garing?

Yuk kita bongkar satu-satu kenapa banyak teks di web terasa kaku, canggung, atau malah bikin kabur:

1. Ukuran Font Terlalu Kecil

Serius deh. 12px itu bukan angka sakral. Itu siksaan. Di layar 6 inci? Itu musibah. Orang harus zoom in cuma buat baca paragraf? Udah deh, kalah saing sama catatan belanja di kulkas. Bahkan buku pelajaran zaman SD aja lebih ramah mata.

Dan bukan cuma di HP — di monitor besar pun, teks kecil bikin capek. Apalagi kalau warna font-nya juga abu-abu samar. Rasanya kayak main Where’s Waldo, tapi objek yang dicari itu... huruf.

2. Line-height Terlalu Rapat

Teks tanpa ruang itu kayak nonton konser metal di barisan depan. Nempel, sesak, nggak nyaman. Huruf-huruf kayak desak-desakan di lift, padahal bisa santai dikit.

Tanpa spasi antar baris yang cukup, mata kita kehilangan ritme. Mata butuh waktu buat turun ke baris berikutnya. Kalau jaraknya terlalu sempit, proses itu jadi berat. Seolah kamu disuruh lari maraton di koridor sempit sambil baca koran.

3. Nggak Ada Hierarki Visual

Judul sama paragraf ukurannya beda tipis. Subjudul ngilang entah ke mana. Semua teks disajikan kayak nasi campur — numpuk tanpa urutan. Padahal struktur itu penting, biar pembaca bisa "nafas" antar bagian.

Bayangin kalau kamu baca novel tanpa bab. Atau nonton video YouTube yang nggak dibagi timestamp. Sama kayak itu — tanpa hirarki, pembaca nggak punya kompas. Akhirnya... capek duluan.

4. Warna Font vs Background = Perang Dunia Ketiga

Tulisan abu-abu muda di background krem pucat? Elu kira ini desain, padahal lebih cocok jadi tes buta warna. Kontras rendah tuh nggak bikin elegan, justru bikin frustasi.

Kita semua mau tampilan yang clean, tapi bukan berarti harus nyiksa retina. Desain yang terlalu halus justru sering kelewat fungsi. Bikin mata tegang, bikin pembaca harus ngeluarin effort ekstra buat sekadar tahu ini bacaan tentang apa.

5. Pemilihan Font yang Asal-asalan

Comic Sans di situs hukum? Times New Roman di startup AI? Bukan cuma nggak nyambung, tapi juga merusak kepercayaan pembaca. Font itu punya kepribadian, dan tiap konteks butuh karakter yang beda.

Coba bayangin kalau kamu lagi baca artikel soal teknologi blockchain, tapi font-nya kayak header menu warteg. Otak langsung kebingungan: "Gue lagi baca teknologi canggih atau brosur katering?"

Salah font bisa ngubah tone seluruh halaman. Padahal kamu udah riset panjang, nulis rapi, SEO-in segala rupa — tapi gagal karena pilihan font yang keliru.

Tipografi Itu Bukan Cuma Soal Estetika — Tapi Tentang Suara

Coba bayangin lagi: kamu ngobrol sama orang. Kalau dia ngomong terlalu pelan, kamu susah denger. Kalau dia ngomong kenceng banget, kamu jadi risih. Kalau dia ngomong datar terus, kamu ngantuk. Nah, teks juga bisa kayak gitu.

Tipografi itu suara visual. Cara huruf-huruf menyapa pembaca, cara paragraf-paragraf mengalirkan cerita. Bukan cuma sekadar "keliatan bagus", tapi juga harus "terasa enak dibaca".

Misalnya: heading yang terlalu kecil bikin pembaca bingung mana yang penting. Teks yang dibold semua kayak orang ngomong sambil teriak terus. Font yang miring tanpa alasan bikin kata-kata kayak lagi mencoba bersikap misterius — padahal nggak butuh drama.

Teks yang baik itu punya intonasi. Ada yang berat (judul utama), ada yang ringan (caption), ada yang ngajak mikir (kutipan), dan ada yang sekadar nyapa (pembuka paragraf). Kombinasi ini semua bikin pengalaman membaca jadi kayak ngobrol sama orang yang ekspresif. Ada naik-turunnya. Ada penekanan. Ada jeda.

Website yang teksnya enak dibaca tuh kayak ngobrol sama temen yang asik: kadang serius, kadang bercanda, kadang ngajak mikir — tapi selalu bikin kamu pengen dengerin sampai habis.

Karena pada akhirnya, kita nggak cuma baca kata-kata. Kita "mendengar" cara penyampaiannya. Dan kalau nada tulisanmu kedengerannya garing? Ya, pembaca juga bakal kabur kayak lagi denger jokes yang dipaksain.

Tipografi bukan cuma buat estetika. Dia nyawa dari pesanmu. Jadi pastikan dia punya suara yang bikin orang pengen dengerin, bukan buru-buru ngeloyor pergi.

Biar Nggak Garing, Lakuin Ini:

1. Mainkan Ukuran dan Bobot Huruf

Pakai heading yang bener. Judul harus mencolok. Subjudul lebih kecil tapi tetap kentara. Paragraf? Ukuran nyaman. Biasanya 16px–18px buat body text itu aman. Gunakan font-weight yang bervariasi — jangan semua dibold. Bold itu kayak capslock: bagus kalau dipake pas perlu, tapi bisa bikin kesel kalau terus-terusan nongol.

Kalau semua huruf dianggap penting, akhirnya nggak ada yang terasa penting. Jadi, kasih ritme. Besar-kecil. Berat-ringan. Kayak nada tinggi-rendah dalam lagu — biar teks kamu nggak datar dan bikin orang ngantuk.

2. Gunakan White Space

White space itu bukan ruang kosong, tapi ruang nafas buat mata. Bayangin kamu lagi dengerin stand-up comedy tapi si komika nggak pernah berhenti buat ambil jeda. Semua punchline-nya nabrak. Nggak lucu, malah bikin penonton pusing.

Sama kayak teks. Tanpa spasi antar paragraf, tanpa padding, dan tanpa jarak yang cukup... teksmu bakal kerasa padat, sesak, dan intimidating. Gunakan margin yang cukup, biar setiap paragraf punya momen buat berdiri sendiri. Dan pembaca punya waktu buat “cerna” isi bacaan.

3. Pilih Kombinasi Font yang Cocok

Kalau kamu mau pake dua jenis font, pastikan mereka nggak saling sikut. Font itu kayak pasangan duet — mereka harus harmonis. Kalau dua-duanya saling teriak pengen diperhatiin, jadinya bukan simfoni tapi kompetisi.

Sans-serif + serif biasanya kombo aman. Misalnya: Merriweather + Open Sans. Tapi jangan asal comot font dari Google Fonts lalu dicampur tanpa mikirin karakter masing-masing. Serif terlalu klasik ketemu sans-serif yang ultra-modern bisa bentrok kayak jazz ketemu dubstep.

4. Perhatikan Kontras

Kontras warna tuh kayak volume suara. Terlalu pelan, orang nggak dengar. Terlalu keras, orang tutup kuping. Idealnya? Pas.

Gunakan tool kayak WebAIM Contrast Checker buat cek rasio kontras. Standar minimalnya AA (tapi kalau bisa AAA, lebih bagus). Teks hitam di atas putih masih jadi kombinasi paling aman, tapi kamu bisa main dengan tone gelap-terang asalkan tetap readable.

Jangan korbankan kenyamanan demi gaya. Font abu-abu 40% opacity di atas latar putih itu bukan estetika — itu jebakan batin.

5. Bikin Teks yang "Ngajak Ngobrol"

Kata-kata yang kamu tulis itu punya suara. Kalau kamu nulisnya kayak ngasih ceramah, ya pembaca bakal mundur pelan-pelan. Tapi kalau kamu nulisnya kayak ngobrol santai, mereka bakal betah.

Gunakan bahasa yang mengalir. Nggak harus baku, tapi tetap jelas. Sesuaikan sama tone brand kamu. Kalau audiens kamu anak muda? Boleh banget pakai analogi kocak, istilah gaul, atau gaya bertutur naratif kayak yang kamu baca sekarang.

Intinya: tulis seperti kamu ngomong. Tapi dengan versi kamu yang sedikit lebih rapi dan mikir dulu sebelum kirim.

6. Responsif!

Tipografi harus lentur kayak yoga. Artinya, dia harus adaptif. Di layar lebar, teks bisa lebih luas dan lega. Tapi di layar HP, dia harus ringkas dan efisien.

Gunakan satuan rem, em, dan clamp() untuk ukuran teks di CSS. Jangan lagi pakai px mentah tanpa mikirin skala. Dan yang penting: preview kontenmu di mobile! Banyak yang nulis di laptop tapi lupa kalau 80% pembaca datang dari ponsel.

Layout boleh keren, tapi kalau font kamu meledak-ledak atau malah nyempil sempit di layar kecil, ya tetap aja garing. Desain yang bagus itu bukan soal keren di Figma, tapi enak dibaca di tangan orang.

Contoh Tipografi Garing vs Engaging

Garing:

<p style="font-size: 12px; line-height: 1.1; color: #bbb">
  Selamat datang di website kami yang menyediakan berbagai informasi menarik untuk Anda.
</p>

Yang terjadi:

  • Font kecil banget, bikin mata kembang kempis.
  • Line-height terlalu padat, huruf-huruf kayak kejebak macet.
  • Warna terlalu samar, kayak bisikan di tengah konser rock.
  • Nada kalimatnya datar dan membosankan — kayak template tahun 2009.

Engaging:

body {
  font-size: 1.1rem;
  line-height: 1.6;
  color: #222;
  font-family: 'Inter', sans-serif;
}
<h1>Selamat Datang 👋</h1>
<p>Kami punya banyak hal seru buat kamu. Yuk mulai eksplor!</p>

Kenapa lebih engaging?

  • Ukuran teks nyaman di mata.
  • Line-height kasih ruang buat napas.
  • Warna teks cukup kontras tanpa nyakitin retina.
  • Gaya bahasa ramah, ringan, dan kayak ngajak ngobrol langsung.
  • Visual hierarchy-nya jelas: heading dominan, body teks mendukung.

Kalau garing kayak teks di undangan kawinan format lama, versi engaging ini kayak pembawa acara talkshow yang tahu cara bikin penonton betah.

Tipografi Itu Jembatan Antara Ide dan Pembaca

Teks yang baik itu nggak cuma menyampaikan pesan, tapi juga menyampaikan rasa. Kadang, satu paragraf yang ditata rapi bisa lebih menyentuh daripada desain flashy yang penuh animasi.

Pikirin ini:

  • Teks adalah komponen yang paling banyak muncul di layar.
  • Tapi sering jadi elemen paling diabaikan dalam desain.
  • Padahal, orang datang ke web mostly buat baca, bukan nonton kembang api.

Tipografi yang buruk itu kayak jembatan rapuh di tengah sungai: kamu bisa lihat seberang, tapi ragu mau lewat. Sebaliknya, tipografi yang bagus itu kayak jembatan gantung modern — kamu nyebrang tanpa mikir, fokus sama pemandangan, alias isi kontennya.

Desain boleh mencuri perhatian, tapi teks yang enak dibaca bikin orang betah. Dia bisa mengantar cerita, menjelaskan produk, membangun emosi, bahkan menenangkan pikiran. Dan semua itu dimulai dari pemilihan font, ukuran, spasi, warna, sampai ritme penulisan.

Tipografi adalah perantara halus antara otakmu dan pikiran pembaca. Dia nggak berisik, tapi efektif. Kayak sahabat yang tahu kapan harus ngomong, kapan cukup dengerin, dan kapan kasih jeda.

Jadi mulai sekarang, jangan anggap tipografi sebagai “hiasan tambahan”. Perlakukan dia sebagai juru bicara utama dari semua pesan yang kamu kirimkan lewat layar. Kalau kamu bisa bikin teks yang ngajak ngobrol, bikin nyaman, dan nggak bikin mata jerit, maka kamu udah menang separuh pertempuran dalam dunia digital.

Penutup: Garing Itu Pilihan, Tapi Bisa Diubah Kok

Tipografi yang garing bukan akhir dunia. Tapi kalau terus dipelihara, dia bisa jadi alasan kenapa bounce rate naik dan konversi jeblok.

Ibarat restoran enak tapi papan namanya buram dan menunya ditulis tangan pakai spidol—niatnya ada, tapi tampilannya bikin ragu. Padahal rasa makanannya mungkin top tier. Sayang, orang keburu ilfeel sebelum nyobain.

Begitu juga teks di web. Bikin teks yang bikin orang pengen lanjut, bukan pengen minggir. Bikin teks yang bikin orang scroll pelan, bukan tutup tab kilat. Dan semua itu dimulai dari hal kecil: ukuran huruf, spasi, ritme, kontras, dan rasa.

Mulailah dari satu hal yang paling mudah kamu ubah. Coba perbesar ukuran font. Coba tambah white space. Coba ganti font yang terlalu kaku jadi yang lebih ringan. Lihat hasilnya. Rasain bedanya.

Dan sebelum kamu mikirin warna tombol CTA, coba deh: Liat teks kamu. Baca keras-keras. Enak nggak? Kalau enggak, fix... itu garing. Dan garing bisa disulap jadi gurih asal kamu tahu bumbunya.

Inget:

"Tipografi itu bukan sekadar bentuk huruf, tapi cara kita ngomong tanpa suara."

Jadi pastikan, suara itu terdengar hangat, jelas, dan ramah. Selamat ngedesain. Dan semoga tulisanmu lebih banyak dibaca, bukan ditinggal. Karena huruf yang enak dibaca, bisa jadi cerita yang terus diingat.

Diperbarui pada 18 June 2025